Sampai Kapan Kita Menjadi Pengekspor TKI?

1 Comment

Indonesia merupakan negara besar yang juga terbesar dalam pengiriman tenaga kerja alias kuli kontrak ke luar negeri. Semakin banyak saja jumlah pekerja Indonesia yang mengadu nasib di negeri orang menjadi TKI dan TKW. Mereka tersebar di berbagai negara seperti Timur Tengah, Hongkong, Korea, Malaysia, Brunei, Jepang, Taiwan, dll, yang secara ekonomi lebih kaya di atas negara kita, dengan jumlah penduduk relatif sedikit, sehingga membutuhkan sumber saya manusia lebih banyak dari kebutuhan pekerjaan yang ada, terutama untuk sektor-sektor pekerjaan ‘kasar’ seperti buruh pabrik, burh bangunan konstruksi, buruh perkebunan, pembantu rumah tangga, baby sitter, meski juga ada yang membutuhkan tenaga perawat, guru dan dokter. Secara perhitungan mereka, perekrutan tenaga dari luar, selain lebih murah, juga lebih bisa diandalkan. Perbedaan tingkat pendapatan perkapita serta upah antara negara kita dengan negara tujuan menjadikan pekerjaan ini menjadi begitu diminati oleh ratusan ribu orang setiap tahunnya. Meski hanya bekerja sebagai PRT di Hongkong misalnya, mereka digaji dengan gaji setara dengan 8-10 kali lipat gaji PRT disini. Setelah dipotong beaya hidup dan beaya pemberangkatan, mereka bisa membawa pulang tidak kurang 2 juta per bulan. Sungguh suatu nilai yang sangat tinggi bagi sebagian besar rakyat kita yang pendapatan per kapitanya ‘hanya’ sekitar 1000 dollar AS per tahun. Dengan uang segitu dengan kontrak kerja 2-3 tahun, sudah bisa digunakan untuk membeli tanah, mungkin juga membangun rumah, membeli kendaraan roda empat, atau sebagai modal usaha disini.
Pahlawan devisa, demikian istilah yang disematkan kepada para pendulang mata uang asing ini, karena dari mereka negara mendapatkan pemasukan yang lumayan besar, dari transaksi uang, belanja, dll, bahkan di beberapa tempat mereka bisa menjadi penyumbang nomor satu perekonomian rakyat. Selain itu keberadaan mereka menjadikan munculnya dan bergairahnya usaha-usaha seperti money changer, PJTKI, calo TKI bandara, calo pasport, biro travel, dll. Bisnis PJTKI menjanjikan keuntungan yang tidak sedikit, mencapai ratusan juta rupiah.Tetapi justru ini yang menjadi kotra produktif, karena menjadikan persaingan yang tidak sehat antar pelaku usaha, yang ujung-ujungnya merugikan calon TKI/TKW itu sendiri. Sehingga banyak yang akhirnya bangkrut, karena kalah bersaing dan tertipu oleh rekan bisnisnya.
Menjadi TKI/TKW adalah pilihan terbaik yang harus ditempuh diantara beberapa pilihan yang ada, dengan kondisi ekonomi masyarakat yang lesu, cari uang susah, gaji minim, kebutuhan hidup yang selangit, keinginan untuk mebahagiakan orang tua dan keluarga, jadi alasan yang sering mereka kemukakan. Bahkan tidak jarang mereka meninggalkan anaknya yang masih bayi, demi mencari emas di negeri orang. Gambaran kehidupan yang serba kesusahan di tempat asal, dan bayangan akan mengeruk puluhan sampai ratusan juta rupiah dari gaji yang mereka terima meski dengan latar belakang pendidikan sma, menjadikan TKI/TKW adalah pekerjaan favorit.
Di permukaan, mereka akan lebih banyak berhasil seperti yang mereka harapkan tanpa ada masalah, tetapi pada kenyataannya, tidak sedikit dari mereka pulang dengan tangan kosong, bahkan juga tanpa nyawa. Kompleksitas permasalahan TKI mulai dari kesalahan memilih jasa penyalur, lewat jalur ilegal, beaya yang tidak wajar, gaji yang sedikit, mendapat majikan galak, kejam, yang tega menyiksa, memperkosa, bahkan membunuh, dikejar-kejar aparat keamanan, terkena kasus pidana, bahkan saat pulangpun masih juga diperas oleh calo bandara dan masih banyak lagi. Juga tidak jarang adanya lompatan kebudayaan dari masyarakat
pedesaan yang statis agamis, ke lingkungan yang serba bebas, hedonis, sehingga menimbulkan free sex, pernikahan sejenis, narkoba, dll.
Saya jadi bertanya, inikah Indonesiaku yang membiarkan rakyatnya menjadi buruh dinegeri orang? Tidak biskah negara menghidupi rakyatnya sendiri? Apa para pemimpin kita tidak malu punya rakyat yang tidak terurus? Negara kita kaya, bahkan sangat kaya, dibanding dengan banyak negara, bahkan dari negara yang mengimpor TKI itu, tetapi kenapa kita tidak bisa menunjukkannya dan terus membiarkan usaha mengekspor TKI/TKW ini jalan terus? Saya adalah orang yang sangat tidak setuju dengan hal ini dan saya berharap pemimpin kita arif dalam menyikapinya. Seperti kata pepatah: “hujan batu di negeri sendiri masih lebih baik dari hujan emas di negeri orang”

Share

Komentar :

ada 1
TKI di Brunei said...
pada hari 

Sampai kapan para TKI yang bekerja di luar negeri mengalami nasib buruk? Jawabannya:...Sampai Pemerintah kita mengambil peduli dan merubah sistem perekrutan TKI dan mengontrol PJTKI serta pejabat yang tidak becus!..

Kang Gambit
http://www.tkidibrunei.blogspot.com

Post a Comment