HENRI WIRATSONGKO

Hasil Seleksi CPNS Pemkab Sidoarjo kemarin menyisakan kontroversi. Ditemukan 10 anak pejabat yang dinyatakan lolos seleksi, bahkan anak dan menantu Kepala BKD Pemkab Sidoarjo Soejarwo diterima di formasi dokter umum. Itulah berita Jawa Timur yang saya baca.
Demikian juga yang terjadi di Bantul dan tentunya di daerah-daerah lain.

Janggal? Tentunya banyak orang akan bertanya-tanya tentang seberapa fairkah mekanisme penerimaan CPNS sekarang ini? mengingat dimasa lalu, seleksi CPNS selalu diwarnai dengan unsur KKN yang sangat kental terasa. Dimana saja, di instansi mana saja, pusat maupun daerah di seluruh Indonesia terjadi hal itu.

Dan ternyata sampai saat ini, hal itu masih menunjukkan tanda-tanda keberadaannya. Bukannya berburuk sangka bila masyarakat dan legislatif mempertanyakan tentang kemurnian hasil test. Tetapi ternyata pada akhirnya di berita dinyatakan bahwa legislatif tidak berkutik menerima penjelasan bahwa hasil test tidak boleh diumumkan ke publik karena bersifat rahasia.
Ketidaktransparanan panitia dalam mengumumkan mekanisme dan rincian hasil test, juga tidak adanya badan independen yang bisa mengawasi penerimaan CPNS ini, tentunya akan membuat keragu-raguan masyarakat dengan independensi panitia.

Apakah hal ini bisa dibiarkan begitu saja? Seharusnya aturan otonomi daerah juga mengatur dengan bijak tentang tata tertib dan mekanisme penerimaan CPNS yang adil, jujur dan tidak ada unsur KKN. Dengan adanya aturan dan pelaksanaan yang benar, bila ternyata memang para anak pejabat tersebut benar-benar berhasil dengan kemampuannya sendiri, maka tidak akan ada lagi masyarakat yang curiga dan menggunjingkannya.

Sesungguhnya memang KKN bisa berubah wujud menjadi apa saja, tergantung pintar-pintarnya si pelaku. Ibarat kentut, dia tidak bisa dilihat, diraba, tapi hanya bisa dirasakan baunya.